Hingga saat ini praktik aborsi di Indonesia belum bisa dikatakan legal. Meski di dalam hukum, aborsi boleh dilakukan dengan tiga kondisi. Hal ini tercantum di dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75 ayat (2).
Padahal, layanan aborsi aman perlu dipertimbangkan pengadaanya bagi korban perkosaan. Berdasarkan aturan ini, di Indonesia boleh dilakukan aborsi karena tiga hal. Pertama, ada kondisi gawat darurat pada kesehatan dan jiwa ibu.
Kedua, ketika ditemui adanya gangguan tumbuh kembang janin. Dalam hal ini misalnya janin menderita penyakit genetik berat atau kelainan bawaan dan tidak dapat ditangani sehingga kalau diteruskan, dapat menyulitkan bayi tersebut setelah keluar dari kandungan. Lalu yang ketiga, adalah aborsi boleh dilakukan pada kehamilan korban kekerasan karena jika dipertahankan, bisa saja dapat menyebabkan trauma dan psikologis bagi korban.
“Sebenarnya untuk yang gangguan gawat darurat kesehatan ibu, kelihatannya punya persepsi sama. Bahwa ketika nyawa ibu terancam, maka menghentikan kehamilan menjadi pilihan,” ungkap Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Akses Menuju Sehat (IPAS), dr Marcia Soumokil, MPH dalam Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPH) 2022 di Yogyakarta, Rabu (24/8/2022). Namun saat ini, Marcia mengungkapkan jika aturan aborsi untuk gangguan tumbuh kembang janin masih di daerah zona abu abu. Begitu pula layanan aborsi aman untuk kehamilan karena kekerasan seksual. “Area ini masih abu abu, masih banyak keputusan yang tidak bisa dibuat oleh perempuan. Walau sudah perkembangan janin tidak sempurna, misal anak tidak terbentuk kepalanya atau tulang kepala dan lapisan penutup perut tidak berkembang. Itu yang terus terjadi,” tegasnya.
Padahal kata Marcia, dua kondisi ini tercantum di dalam aturan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75 ayat (2). Untuk gangguan tumbuh kembang janin bisa dihentikan tapi, dalam beberapa situasi, perempuan bisa mengakses layanan ini. Namun yang sampai ini belum ada adalah korban perkosaan.
“Padahal korban perkosaan jelas juga diatur bagaimana mengakses layanannya sehingga perlu dibentuk tim, dokter, dokumen dari polisi dan sebagainya. Itu sudah diatur cukup detail sampai di Permenkes Nomor 3 tahun 2016. Hanya saja memang hingga saat ini layanan tersebut belum ada,” katanya lagi. Marcia pun mengatakan jika pihaknya mendorong perempuan untuk membuat keputusan. Korban perkosaan boleh mengambil keputusan untuk melanjutkan kehamilan atau sebaliknya.
Hanya saja saat ini layanan tersebut belum ada untuk penyintas sehingga, banyak risiko yang dialami. Misalnya mendorong juga korban perkosaan untuk mengakses layanan tidak aman. Sehingga bisa memberikan dampak jangka panjang. “Ini kita juga kebingungan. Bagaimana mendorong pemerintah bisa memberikan layanan ini,” tegasnya.
Hambatan untuk Layanan Abrosi Bagi Korban Perkosaan Menurut Marcia, belum adanya layanan bagi korban perkosaan disebabkan oleh berbagai faktor. Baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. Karenanya perlu kerja sama dari berbagai lapisan. Tidak hanya dari aspek masyarakat, terkadang antar lembaga pemerintah masih belum tahu dengan aturan yang sebenarnya telah dibuat. Walau memang saat ini masih ada stigma yang kuat terkait penghentian kehamilan untuk korban perkosaan.
Oleh karena itu, menurut Marcia perlu ada dorongan dari hulu dan hilir. Pertama, dari hulu adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan alat reproduksi dan seksual pada masyarakat. Tentunya penyampaiannya harus benar dan tepat sesuai umur. “Jadi sedini mungkin mengajarkan tentang tubuhnya, apa pun terjadi pada tubuhnya sesuai dengan persetujuan dia. Hal ini juga bisa mencegah anak anak mengalami kekerasan seksual,” papar Marcia. Lebih lanjut, pencegahan tetap menjadi utama. Dan untuk korban perkosaan, aborsi adalah langkah terakhir ketika terjadi kehamilan yang tidak dinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan akibat perkosaan bisa dicegah dengan kontrasepsi darurat.
“Masalahnya adalah kontrasepsi darurat ini belum masuk obat esensial nasional. Dia tidak ada di daftar obat. Karena masih banyak miss persepsi,” pungkasnya.